Jika pertanyaan tersebut ditujukan kepada seorang muslim apalagi yang punya gelar “ustadz”, pasti akan dijawab ‘membaca’.
Kenapa?
Ya, jelas … karena wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW
berisi perintah untuk ‘membaca’. Alasan lain, karena membaca adalah
jendela dunia, jendelanya ilmu pengetahuan. Dengan membaca wawasan kita
akan bertambah.
Lantas
jika ditanya, “Apa yang dibaca?” Ya jelas, tulisan. Nah, kalau ada
perintah membaca berarti harus ada sesuatu untuk dibaca dan itu harus
ada/tersedia terlebih dahulu. Apa gunanya perintah membaca jika tidak
ada yang dibaca?
Mundur
sejenak ke belakang, sebelum manusia menemukan teknologi rekaman suara,
manusia selalu berusaha berkomunikasi atau berusaha meninggalkan jejak
melalui tulisan, mulai dari coretan di dinding gua, di atas
batu/prasasti, di atas daun lontar sampai akhirnya di atas kertas. Dari
peninggalan-peninggalan tersebut kita bisa mempelajari dan mengetahui
kejadian-kejadian/sejarah atau peradaban manusia di masa lampau.
Dalam
perjalanan peradaban umat manusia, menulis merupakan cara
mendokumentasikan dan mewariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya.
Pengetahuan tersebut dibaca dan kemudian ditulis ulang atau diperbarui
oleh generasi berikutnya untuk diwariskan ke generasi berikutnya lagi.
Begitulah siklus baca dan tulis terus bergulir dari generasi ke
generasi. Akan halnya kenapa ketika kita masih kecil orang tua kita
lebih dulu mengajarkan membaca daripada menulis, karena belajar membaca
lebih bisa diterima daripada belajar menulis. Oleh karena itu hampir
bisa dipastikan, jika anak bisa menulis pasti bisa membaca, tetapi anak
yang bisa membaca belum tentu bisa menulis.
Sebuah
tulisan bisa sebagai sarana komunikasi, informasi, dokumentasi,
provokasi, atau sekedar curahan hati. Sayangnya budaya menulis kurang
diminati daripada budaya melihat dan bicara. Padahal sebuah tulisan
mempunyai kekuatan jauh lebih besar dari melihat atau berbicara. Sebagai
contoh, sebuah perjanjian tertulis kekuatannya jauh lebih besar
daripada perjanjian yang dibuat secara lisan. Atau, sebuah tulisan bisa
menjadi bukti yang sangat kuat dalam kasus hukum, bahkan bisa lebih kuat
dari kesaksian seorang saksi yang hanya berdasarkan katanya … katanya
…. Banyak orang diam tak berkutik ketika ditunjukkan padanya sebuah
tulisan yang ia buat sendiri. Bahkan beberapa tahun yang lalu ada yang
masuk penjara gara-gara tulisan yang dibuatnya. Namun hal tersebut
mestinya tak ada terjadi lagi di era kerterbukaan seperti sekarang ini.
Jadi tak ada alasan untuk takut menulis. Tulislah … tulislah apa saja
yang ingin kamu tulis. Jangan pedulikan ada yang membaca atau tidak.
Anda tidak perlu sehebat Khairil Anwar, WS Rendra atau Arswendo
Atmowiloto untuk mulai menulis.
Tulislah apa yang kamu ketahui, ketahuilah apa yang kamu tulis.
Salam dari seseorang yang sedang belajar menulis.