Belum selesai
tragedi Mesuji, Lampung, masyarakat kembali dikejutkan dengan adanya tragedi Sape,
Bima. Akibat kerusuhan di pelabuhan Sape, Bima yang terjadi menjelang hari
Natal kemarin mengakibatkan dua orang meninggal. Hal ini langsung mendapat
perhatian dari para pengamat, aktivis HAM, LSM dan lain-lain. Semua sepakat
mengutuk tindakan polisi yang dianggap represif, membabi buta dan melanggar
HAM.
Meskipun
bukan pengamat, saya kurang sependapat dengan para pengamat dan aktivis yang
sering muncul dan berkoar-koar di berbagai stasiun TV swasta. Sepertinya mereka
hanya melihat kejadian terakhir yang mengakibatkan dua warga sipil meninggal
dunia, dan langsung berteriak menuntut Kapolres Bima, Kapolda NTB sampai
Kapolri untuk mengundurkan diri atau diberhentikan. Mereka dianggap yang paling
bersalah dan harus bertanggung jawab atas kejadian di Sape, Bima tersebut.
Tragedi
Sape, Bima berawal dari pemblokiran pelabuhan penyeberangan Sape, Bima oleh
warga Lambu dan Sape sebagai protes terhadap keberadaan perusahaan tambang di
wilayah mereka. Pemblokiran pelabuhan penyeberangan Sape terpaksa dilakukan
karena protes ke pihak Pemda dan DPRD Kab. Bima dianggap tidak membawa hasil.
Kalau
mau menunjuk siapa yang bersalah, menurut saya semuanya bersalah. Pihak Kepolisian
bersalah karena pelaksanaan pembubaran masa yang sampai menimbulkan korban jiwa
warga sipil. Pihak warga juga bersalah karena memblokir pelabuhan penyeberangan
Sape yang merupakan fasilitas umum. Jika memang tidak setuju dengan adanya
penambangan mestinya yang diblokir jalan/akses menuju areal tambang atau kantor
perusahaan penambang bukan pelabuhan. Sedangkan Pemda dan DPRD Kabupaten Bima
adalah pihak yang paling bersalah dan harus bertanggung jawab dalam peristiwa
ini karena tidak mendengarkan aspirasi warganya. Sudah lima hari pelabuhan
diblokir warga tapi ada tanda-tanda penyelesaian dari Pemda dan DPRD Kabupaten
Bima. Ke mana saja mereka ? Apakah mereka masih sibuk menghitung peningkatan
PAD ? Sayangnya bukan Pendapatan Asli Daerah yang sibuk dihitung, melainkan
Punya Aku Duluan. (!@#$*).
Mengenai
pelanggaran HAM yang dituduhkan kepada aparat kepolisian, apakah tuduhan itu
juga berlaku jika yang jadi korban adalah aparat kepolisian? Ingat, warga yang
memblokir pelabuhan Sape juga melengkapi diri sengan senjata. Saya yakin tidak.
Jika aparat kepolisian yang jadi korban (seperti yang sering terjadi di Papua),
para pengamat, aktivis HAM dan LSM masih saja memojokkan arparat kepolisian.
Mereka bilang, “polisi tidak profesional, bawa persenjataan kok tidak bisa
melindungi diri sendiri, dan lain sebagainya “. Intinya polisi tetap salah. Padahal
polisi juga manusia biasa. Kenapa para pengamat dan aktivis tidak pernah
mempermasalahkan tindakan warga yang memblokir pelabuhan adalah jelas-jelas
melanggar HAM. Banyak pihak yang sangat dirugikan dengan adanya pemblokiran
tersebut, pihak ASDP, arus lalu lintas manusia dan barang dari NTB ke NTT
terganggu, sayur mayur membusuk di bak truk, yang mau berwisata ke P. Komodo
juga terganggu kenyamanannya. Termasuk yang ikut-ikutan demo dengan membakar
ban di tengah jalan dan merusak fasilitas umum yang sama sekali tidak ada sangkut
paut dengan kasus Sape, apakah mereka menghormati hak-hak pengguna jalan yang
lain ? Kenapa para demonstran itu tidak dituduh melanggar HAM ? Jika setiap
pelanggaran HAM selalu ditanggapi dengan aksi lain yang juga melanggar HAM,
kapan selesainya ?
Tulisan
ini tidak bermaksud membela aparat kepolisian dan saya juga bukan anggota
polisi atau berasal dari keluarga polisi. Tulisan (saya) ini hanya bermaksud
mendudukkan permasalahan secara lebih adil dan fair. Jangan hanya melihat
akibat sebuah kejadian, tapi kita harus secara jernih melihat apa penyebab
kenapa sampai ada kejadian tersebut.