Ketika
bertugas di Papua tahun ’96 yang lalu, saya mendapat telepon dr sahabat sy sewaktu
kuliah dulu. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar masing-masing, dia bertanya,
“Ngomong-omong,
masih di Wamena, nih?” tanya temanku.
“Ohh …
sekarang sy sedang di Jayapura.” jawabku.
“Pindah
tugas, ya?”
“Ahh …
nggak, cuma jalan-jalan aja. Biasa … malem mingguan.”
“Emang
… Wamena Jayapura itu berapa jauh sih?”
“Yaa …
paling cuma 20 – 30 menit perjalanan.”
“Ooo …
deket dong.”
“Ya …
kalo naik motor atau mobil … ini naik pesawat, bro!”
“****uk
!” umpatan khas Suroboyoan-nya keluar.
Ya,
jika Anda ingin punya jam terbang tinggi dalam arti yang sebenarnya, tinggallah
di Papua. Hal ini terjadi karena belum ada jalan darat (yang layak dilewati) yang
saling menghubungkan antar kota kabupaten. Jangankan jalan antar kota
kabupaten, antar kecamatan dalam satu kabupaten saja masih banyak yang belum
terhubung dengan jalan darat. Apalagi untuk kabupaten yang berada di pedalaman.
Sedangkan untuk kabupaten yang berada di pesisir pantai, selain menggunakan
pesawat, masih ada alternatif lain yaitu dengan menggunakan kapal putih milik
Pelni.
Sekedar
sebagai gambaran, dari Serui-Jayapura butuh waktu kurang lebih 2,5 jam
perjalanan naik pesawat jenis Twin Otter, Serui-Biak kurang lebih 25 menit juga
naik Twin Otter, Biak-Jayapura kurang lebih 90 menit naik Boeing, sedangkan
Jayapura-Wamena kurang lebih 30 menit naik Fokker 27. Untuk rute yang lain saya
belum pernah mencobanya.
Kembali
ke daerah pedalaman. Untuk menembus daerah pedalaman Papua hanya bisa dilakukan
dengan pesawat ringan/kecil sekelas Twin Otter, Pilatus atau Cessna, karena
banyak landasan perintis di pedalaman Papua hanya berupa lapangan rumput.
Sedangkan yang sudah diaspal bisa masuk dengan pesawat yang agak besar, seperti
jenis Fokker 27 atau bahkan Hercules C130 milik TNI AU.
Buat
pembaca yang belum pernah melihat atau merasakan landasan perintis, saksikan
video–video berikut ini. Anda akan dibuat takjub sekaligus merinding oleh
lokasi landasan-landasan perintis di pedalaman Papua. Ada yang diujung
landasannya berupa jalan, sungai bahkan tebing dan jurang. Jika Anda lihat ada
salah satu ujung landasan dibuat menanjak, hal tersebut untuk memudahkan
pesawat saat take off. Maka jangan heran, jika di Jawa kendaraan dihentikan
untuk sementara karena ada kereta api mau lewat, kalau di Papua kendaraan
dihentikan sementara karena ada pesawat mau take off atau landing.
Mengenai
landasan rumput ini, salah seorang teman saya pernah bergurau, bahwa landasan
itu sebenarnya tanah lapang milik masyarakat yang disewakan untuk landasan,
karena lebih banyak nganggurnya. Justru lebih sering dipakai untuk gembala
ternak, main bola, jogging atau tempat untuk latihan naik sepeda motor.
Untuk menembus pedalaman Papua, mau tidak
mau kita harus memberi dua jempol untuk pilot-pilot dari MAF (Mission Aviation
Fellowship) dan Susi Air, yang kebanyakan berasal dari Amerika, Kanada dan
Eropa. Mereka terkenal berani menembus halangan cuaca dan jarang sekali kembali
ke pangkalan sebelum mendarat di tempat tujuan. Memang ada pilot Indonesia,
tapi jumlah tak seberapa dibanding dengan pilot warga negara asing. Sejak pertama
kali MAF masuk di Papua (1952), pilot-pilot misionaris itu tak pernah lelah
melayani warga pedalaman Papua, mengantarkan logistik (bahan makanan, bahan
bakar serta bahan bangunan) ke warga pedalaman. Merekalah sahabat-sahabat
sejati warga pedalaman Papua.
0 komentar:
Posting Komentar