Selamat Datang di blog mas Teddy .... sebagian artikel di blog ini juga terdapat di
kompasiana.

Sabtu, 31 Desember 2011

Apa Istimewanya Malam Tahun Baru ?

Tanpa terasa malam tahun baru datang lagi. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, seluruh lapisan masyarakat di seluruh penjuru dunia sibuk menyambutnya. Mulai dari sekedar makan bersama bersama tetangga atau komunitas, konvoi kendaraan keliling kota, nonton bareng konser musik dan pesta kembang api sampai pergi berlibur di lokasi wisata favorit.

Untuk hal yang satu ini, mungkin saya termasuk orang yang “kuper” atau bahkan “kampungan/ndeso”. Karena selama ini saya selalu mengganggap malam tahun baru bukanlah malam yang istimewa. Bagi saya malam tahun baru sama saja dengan malam-malam lain sehingga merasa tidak perlu untuk merayakan atau menyambutnya secara berlebihan. Yang saya lakukan di malam tahun baru biasanya cukup nonton TV dan kalau sudah ngantuk, ya tidur. Kalau kadang-kadang ikut nimbrung makan-makan dengan tetangga atau teman-teman, itu hanya untuk menghargai yang mengundang.

Saya tidak habis pikir mengapa hanya sekedar untuk menyambut malam tahun baru, orang sampai menghabiskan uang puluhan juta untuk bergembira atau berfoya-foya. Bukankah uang sebanyak itu bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bermanfaat. Padahal jika dipikir (kalau mau berpikir), dengan bertambahnya tahun seseorang justru makin mendekati kematian, mendekati liang kubur. Mengapa mereka justru bergembira dan berpesta pora ? Belum lagi besok paginya pasti ada berita “perayaan malam tahun baru memakan korban. Sekian nyawa melayang” Jika yang jadi korban adalah anggota keluarga atau kerabat Anda, baru menyesal merayakan tahun baru.

Kamis, 29 Desember 2011

Tragedi Sape, Bima ... Siapa Yang Bertanggung Jawab ?

Belum selesai tragedi Mesuji, Lampung, masyarakat kembali dikejutkan dengan adanya tragedi Sape, Bima. Akibat kerusuhan di pelabuhan Sape, Bima yang terjadi menjelang hari Natal kemarin mengakibatkan dua orang meninggal. Hal ini langsung mendapat perhatian dari para pengamat, aktivis HAM, LSM dan lain-lain. Semua sepakat mengutuk tindakan polisi yang dianggap represif, membabi buta dan melanggar HAM.
Meskipun bukan pengamat, saya kurang sependapat dengan para pengamat dan aktivis yang sering muncul dan berkoar-koar di berbagai stasiun TV swasta. Sepertinya mereka hanya melihat kejadian terakhir yang mengakibatkan dua warga sipil meninggal dunia, dan langsung berteriak menuntut Kapolres Bima, Kapolda NTB sampai Kapolri untuk mengundurkan diri atau diberhentikan. Mereka dianggap yang paling bersalah dan harus bertanggung jawab atas kejadian di Sape, Bima tersebut.
Tragedi Sape, Bima berawal dari pemblokiran pelabuhan penyeberangan Sape, Bima oleh warga Lambu dan Sape sebagai protes terhadap keberadaan perusahaan tambang di wilayah mereka. Pemblokiran pelabuhan penyeberangan Sape terpaksa dilakukan karena protes ke pihak Pemda dan DPRD Kab. Bima dianggap tidak membawa hasil.
Kalau mau menunjuk siapa yang bersalah, menurut saya semuanya bersalah. Pihak Kepolisian bersalah karena pelaksanaan pembubaran masa yang sampai menimbulkan korban jiwa warga sipil. Pihak warga juga bersalah karena memblokir pelabuhan penyeberangan Sape yang merupakan fasilitas umum. Jika memang tidak setuju dengan adanya penambangan mestinya yang diblokir jalan/akses menuju areal tambang atau kantor perusahaan penambang bukan pelabuhan. Sedangkan Pemda dan DPRD Kabupaten Bima adalah pihak yang paling bersalah dan harus bertanggung jawab dalam peristiwa ini karena tidak mendengarkan aspirasi warganya. Sudah lima hari pelabuhan diblokir warga tapi ada tanda-tanda penyelesaian dari Pemda dan DPRD Kabupaten Bima. Ke mana saja mereka ? Apakah mereka masih sibuk menghitung peningkatan PAD ? Sayangnya bukan Pendapatan Asli Daerah yang sibuk dihitung, melainkan Punya Aku Duluan. (!@#$*).
Mengenai pelanggaran HAM yang dituduhkan kepada aparat kepolisian, apakah tuduhan itu juga berlaku jika yang jadi korban adalah aparat kepolisian? Ingat, warga yang memblokir pelabuhan Sape juga melengkapi diri sengan senjata. Saya yakin tidak. Jika aparat kepolisian yang jadi korban (seperti yang sering terjadi di Papua), para pengamat, aktivis HAM dan LSM masih saja memojokkan arparat kepolisian. Mereka bilang, “polisi tidak profesional, bawa persenjataan kok tidak bisa melindungi diri sendiri, dan lain sebagainya “. Intinya polisi tetap salah. Padahal polisi juga manusia biasa. Kenapa para pengamat dan aktivis tidak pernah mempermasalahkan tindakan warga yang memblokir pelabuhan adalah jelas-jelas melanggar HAM. Banyak pihak yang sangat dirugikan dengan adanya pemblokiran tersebut, pihak ASDP, arus lalu lintas manusia dan barang dari NTB ke NTT terganggu, sayur mayur membusuk di bak truk, yang mau berwisata ke P. Komodo juga terganggu kenyamanannya. Termasuk yang ikut-ikutan demo dengan membakar ban di tengah jalan dan merusak fasilitas umum yang sama sekali tidak ada sangkut paut dengan kasus Sape, apakah mereka menghormati hak-hak pengguna jalan yang lain ? Kenapa para demonstran itu tidak dituduh melanggar HAM ? Jika setiap pelanggaran HAM selalu ditanggapi dengan aksi lain yang juga melanggar HAM, kapan selesainya ?

Tulisan ini tidak bermaksud membela aparat kepolisian dan saya juga bukan anggota polisi atau berasal dari keluarga polisi. Tulisan (saya) ini hanya bermaksud mendudukkan permasalahan secara lebih adil dan fair. Jangan hanya melihat akibat sebuah kejadian, tapi kita harus secara jernih melihat apa penyebab kenapa sampai ada kejadian tersebut.

Senin, 26 Desember 2011

Ceramah Tanpa Kata

Al kisah, menjelang pelaksanaan sholat tarawih, seorang uztad berdiri di mimbar untuk memberikan ceramah pendek atau kultum - istilah kerennya. Ketika ceramah memasuki menit ke tiga, jamaah di bagian belakang yang banyak diisi oleh para ibu dan remaja ABG, mulai ramai. Memasuki menit ke lima, suasana bagian belakang masjid makin riuh. Memasuki menit ke tujuh, sang uztad menghentikan ceramahnya tapi masih berdiri di mimbar. Menit ke sepuluh, sang uztad masih terdiam di atas mimbar, suasana masjid mulai hening. Menit ke lima belas, sang uztad masih saja berdiri diam di atas mimbar, suasana masjid menjadi tegang. Para jamaah mulai tertunduk, menunggu sang uztad melanjutkan ceramahnya. Namun sang uztad masih terdiam di atas mimbar sambil matanya memandang tajam ke arah para jamaah masjid tersebut. Akhirnya seorang jamaah memberanikan diri bertanya kepada sang uztad,
"Kenapa ceramahnya tidak dilanjutkan, pak uztad ?"
Sambil tersenyum sang uztad menjawab, "Rupanya kalian baru memperhatikan ceramah justru ketika khotibnya sedang diam." Kemudian dia turun dari mimbar.

Memang kebanyakan dari kita adalah pembicara yang baik BUKAN pendengar yang baik. 

Anakku Ranking 2

Di saat liburan anak sekolah sehabis terima raport seperti sekarang ini, ada sebuah pertanyaan yg membuat saya merasa sebel jika mendengarnya. Pertanyaan itu berbunyi, "Arif ranking berapa, pak ?" Kenapa selalu ranking, ... ranking, ... dan rangking saja yang selalu ditanyakan. Selalu hasil akhir yang dijadikan pegangan, gak peduli bagaimana cara mendapatkannya. Mau nyontek, mau cari bocoran soal atau mau kerja sama teman tidak penting, yang penting ranking.
Kenapa saya tidak peduli dengan ranking ? Ada cerita yang cukup menarik, seorang anak sangat dibanggakan orang tuanya karena berhasil meraih ranking satu. Tapi ketika ketemu seorang anak yang "hanya" ranking tujuh kemampuannya kalah jauh. Oleh karena itu saya lebih mementingkan pengertian, pemahaman dan daya nalar kepada anak saya, soal nilai urusan belakang.
Sekarang kalau ada yang tanya, "Arif ranking berapa, pak ?"
Saya jawab, "Ranking dua."
Dia jawab, "Waahhh ... bagus, dong !"
Saya lanjutkan, "Puluh."
Dia bergumam, "Oooo ....."
Saya lanjutkan lagi, "Sembilan"

Featured Posts Coolbthemes