Selamat Datang di blog mas Teddy .... sebagian artikel di blog ini juga terdapat di
kompasiana.

Rabu, 28 Maret 2012

An Old Man Called "Papuq Pisang"


Kisah berikut ini adalah cerita tentang seorang bapak tua (istilah base sasaknya “papuq”) penjual pisang yang biasa lewat di depan rumah, yang akhirnya diberi sebutan “papuq pisang” oleh istri saya.
Kisah ini bermula dari sekitar enam tahun yang lalu ketika kami sekeluarga baru pindah ke P. Lombok.
(sumber : google)
Pada suatu siang yang sangat terik terlihat seorang bapak tua –atau lebih tepatnya “kakek”- sedang duduk-duduk di bawah pohon di depan rumah kami dengan dua keranjang berisi pisang ada di depannya. Terdorong rasa kasihan, istriku memanggilnya untuk beristirahat di teras rumah. Ditemani sepiring kue dan air putih, istriku menemani kakek itu ngobrol di teras (untungnya sang kakek bisa berbahasa Indonesia, kalau hanya bisa bahasa sasak pasti tidak akan nyambung ... :D). Setelah kurang lebih setengah jam ngobrol dan menghasilkan transaksi sesisir pisang, sang kakek melanjutkan perjalanannya. Sejak itu sang kakek selalu mampir ke rumah, kira-kira tiap dua atau tiga minggu sekali. Meskipun tidak selalu membuahkan transaksi, paling tidak ada langganan tempat istirahat dengan fasilitas minum air putih atau kopi plus kadang-kadang sepiring kue atau jajan hasil bikinan istriku sendiri.
Dari hasil sekian kali ngobrol dengan sang kakek, istriku telah berhasil mengumpulkan sepenggal perjalanan hidup sang kakek yang cukup mengharukan sekaligus membanggakan tentang semangat dan perjuangan hidup serta harga diri.

Inilah sebagian penuturan dari sang kakek. Berjualan pisang hasil kebunnya adalah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup bagi dia dan istrinya. Karena dia tidak mau menggantungkan hidup kepada orang lain, termasuk anak-anaknya. Karena dia sendiri juga tidak tahu di mana anak-anaknya sekarang berada. Untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain atau menyerahkan diri ke panti jompo adalah pantangan buat dirinya. Selama masih bisa dan kuat jalan kaki dia akan tetap memilih untuk berjualan pisang. Lebih baik berjualan pisang daripada mengemis, makanya dia paling benci jika melihat orang yang masih muda dan sehat, mengemis. Selain dianggap pemalas dan tidak menghargai diri sendiri karena dia juga tahu persis kadang-kadang hasil dari mengemisnya itu lebih sering dipergunakan untuk hal-hal yang justru kurang berguna, seperti untuk beli rokok.

Jangan sekali-kali memberi uang pada kakek ini tanpa membeli pisangnya, dia pasti akan tersinggung. “Kalau bapak atau ibu mau memberi saya uang, silakan beli pisang saya!” begitu yang sering dia ucapkan. Memang jarang ada orang yang mau beli pisang sang kakek hanya karena satu hal saja, mahal. Jika dibandingkan dengan harga pisang pada umumnya. Jadi kalau ada yang beli pisangnya itu karena lebih terdorong oleh rasa kasihan. Terkadang muncul pikiran jelek saya, inikah strategi mengemis yang lebih halus? Tapi pikiran itu segera saya buang jauh-jauh demi melihat keringat yang belum kering di pipinya.

Suatu ketika, sudah cukup lama sang kakek tidak lewat depan rumah. Mulai muncul kekangenan sekaligus kekhawatiran kami akan sang kakek. Jangan-jangan dia sakit atau mungkin sudah meninggal. Kalau betul sudah meninggal, ke mana kami harus melayat sementara nama dan rumahnya saja kami tidak tahu (karena setiap kali ditanya di mana rumahnya, dia hanya menjawab “jauh ... pokonya jauh”). Hilang sudah kekhawatiran kami begitu melihat sang kakek muncul lagi beberapa hari menjelang lebaran tahun lalu. Hebatnya lagi dia masih berusaha menjalankan ibadah puasa ramadhan. Untuk pertama kalinya sang kakek mengajukan permintaan kepada istri saya (setelah didahului dengan prakata yang sangat santun) barangkali ada baju/celana/sarung yang sudah tidak dipakai, bolehkah dia memintanya. Trenyuh hatiku mendengarnya. Tanpa pikir panjang kami carikan baju dan celana yang masih layak pakai. Khusus untuk sarung kami berikan yang masih baru, masih dalam kemasan tokonya. Senang hati kami melihat senyum sang kakek. Dan seperti biasa, sebelum melanjutkan perjalannya sang kakek selalu mendoakan kami sekeluarga.

Ya Allah ..... berilah kami kekuatan untuk selalu meneladani sikap dan harga diri sang kakek dalam menjalani kehidupan ini, sikap yang pantang menyerah dan pantang melakukan sesuatu yang hina demi kebahagiaan sesaat. Ya Allah ..... berikan yang terbaik buat kakek kami meskipun bagi sebagian orang dia hanyalah seorang “penjual pisang” yang dikenal orang dengan “papuq pisang”.

Senin, 05 Maret 2012

Pilot Asing, Sahabat Warga Pedalaman Papua


Ketika bertugas di Papua tahun ’96 yang lalu, saya mendapat telepon dr sahabat sy sewaktu kuliah dulu. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar masing-masing, dia bertanya,
“Ngomong-omong, masih di Wamena, nih?” tanya temanku.
“Ohh … sekarang sy sedang di Jayapura.” jawabku.
“Pindah tugas, ya?”
“Ahh … nggak, cuma jalan-jalan aja. Biasa … malem mingguan.”
“Emang … Wamena Jayapura itu berapa jauh sih?”
“Yaa … paling cuma 20 – 30 menit perjalanan.”
“Ooo … deket dong.”
“Ya … kalo naik motor atau mobil … ini naik pesawat, bro!”
“****uk !” umpatan khas Suroboyoan-nya keluar.

Ya, jika Anda ingin punya jam terbang tinggi dalam arti yang sebenarnya, tinggallah di Papua. Hal ini terjadi karena belum ada jalan darat (yang layak dilewati) yang saling menghubungkan antar kota kabupaten. Jangankan jalan antar kota kabupaten, antar kecamatan dalam satu kabupaten saja masih banyak yang belum terhubung dengan jalan darat. Apalagi untuk kabupaten yang berada di pedalaman. Sedangkan untuk kabupaten yang berada di pesisir pantai, selain menggunakan pesawat, masih ada alternatif lain yaitu dengan menggunakan kapal putih milik Pelni.
Sekedar sebagai gambaran, dari Serui-Jayapura butuh waktu kurang lebih 2,5 jam perjalanan naik pesawat jenis Twin Otter, Serui-Biak kurang lebih 25 menit juga naik Twin Otter, Biak-Jayapura kurang lebih 90 menit naik Boeing, sedangkan Jayapura-Wamena kurang lebih 30 menit naik Fokker 27. Untuk rute yang lain saya belum pernah mencobanya.

Kembali ke daerah pedalaman. Untuk menembus daerah pedalaman Papua hanya bisa dilakukan dengan pesawat ringan/kecil sekelas Twin Otter, Pilatus atau Cessna, karena banyak landasan perintis di pedalaman Papua hanya berupa lapangan rumput. Sedangkan yang sudah diaspal bisa masuk dengan pesawat yang agak besar, seperti jenis Fokker 27 atau bahkan Hercules C130 milik TNI AU.

Buat pembaca yang belum pernah melihat atau merasakan landasan perintis, saksikan video–video berikut ini. Anda akan dibuat takjub sekaligus merinding oleh lokasi landasan-landasan perintis di pedalaman Papua. Ada yang diujung landasannya berupa jalan, sungai bahkan tebing dan jurang. Jika Anda lihat ada salah satu ujung landasan dibuat menanjak, hal tersebut untuk memudahkan pesawat saat take off. Maka jangan heran, jika di Jawa kendaraan dihentikan untuk sementara karena ada kereta api mau lewat, kalau di Papua kendaraan dihentikan sementara karena ada pesawat mau take off atau landing.


Mengenai landasan rumput ini, salah seorang teman saya pernah bergurau, bahwa landasan itu sebenarnya tanah lapang milik masyarakat yang disewakan untuk landasan, karena lebih banyak nganggurnya. Justru lebih sering dipakai untuk gembala ternak, main bola, jogging atau tempat untuk latihan naik sepeda motor.
Untuk menembus pedalaman Papua, mau tidak mau kita harus memberi dua jempol untuk pilot-pilot dari MAF (Mission Aviation Fellowship) dan Susi Air, yang kebanyakan berasal dari Amerika, Kanada dan Eropa. Mereka terkenal berani menembus halangan cuaca dan jarang sekali kembali ke pangkalan sebelum mendarat di tempat tujuan. Memang ada pilot Indonesia, tapi jumlah tak seberapa dibanding dengan pilot warga negara asing. Sejak pertama kali MAF masuk di Papua (1952), pilot-pilot misionaris itu tak pernah lelah melayani warga pedalaman Papua, mengantarkan logistik (bahan makanan, bahan bakar serta bahan bangunan) ke warga pedalaman. Merekalah sahabat-sahabat sejati warga pedalaman Papua.

Featured Posts Coolbthemes