Kisah
berikut ini adalah cerita tentang seorang bapak tua (istilah base sasaknya
“papuq”) penjual pisang yang biasa lewat di depan rumah, yang akhirnya diberi
sebutan “papuq pisang” oleh istri saya.
Kisah
ini bermula dari sekitar enam tahun yang lalu ketika kami sekeluarga baru
pindah ke P. Lombok.
(sumber : google) |
Pada
suatu siang yang sangat terik terlihat seorang bapak tua –atau lebih tepatnya
“kakek”- sedang duduk-duduk di bawah pohon di depan rumah kami dengan dua
keranjang berisi pisang ada di depannya. Terdorong rasa kasihan, istriku
memanggilnya untuk beristirahat di teras rumah. Ditemani sepiring kue dan air
putih, istriku menemani kakek itu ngobrol di teras (untungnya sang kakek bisa
berbahasa Indonesia, kalau hanya bisa bahasa sasak pasti tidak akan nyambung
... :D). Setelah kurang lebih setengah jam ngobrol dan menghasilkan transaksi
sesisir pisang, sang kakek melanjutkan perjalanannya. Sejak itu sang kakek
selalu mampir ke rumah, kira-kira tiap dua atau tiga minggu sekali. Meskipun
tidak selalu membuahkan transaksi, paling tidak ada langganan tempat istirahat
dengan fasilitas minum air putih atau kopi plus kadang-kadang sepiring kue atau
jajan hasil bikinan istriku sendiri.
Dari
hasil sekian kali ngobrol dengan sang kakek, istriku telah berhasil
mengumpulkan sepenggal perjalanan hidup sang kakek yang cukup mengharukan
sekaligus membanggakan tentang semangat dan perjuangan hidup serta harga diri.
Inilah
sebagian penuturan dari sang kakek. Berjualan pisang hasil kebunnya adalah
satu-satunya jalan untuk bertahan hidup bagi dia dan istrinya. Karena dia tidak
mau menggantungkan hidup kepada orang lain, termasuk anak-anaknya. Karena dia
sendiri juga tidak tahu di mana anak-anaknya sekarang berada. Untuk meminta-minta
(mengemis) kepada orang lain atau menyerahkan diri ke panti jompo adalah
pantangan buat dirinya. Selama masih bisa dan kuat jalan kaki dia akan tetap
memilih untuk berjualan pisang. Lebih baik berjualan pisang daripada mengemis,
makanya dia paling benci jika melihat orang yang masih muda dan sehat,
mengemis. Selain dianggap pemalas dan tidak menghargai diri sendiri karena dia
juga tahu persis kadang-kadang hasil dari mengemisnya itu lebih sering
dipergunakan untuk hal-hal yang justru kurang berguna, seperti untuk beli
rokok.
Jangan
sekali-kali memberi uang pada kakek ini tanpa membeli pisangnya, dia pasti akan
tersinggung. “Kalau bapak atau ibu mau memberi saya uang, silakan beli pisang
saya!” begitu yang sering dia ucapkan. Memang jarang ada orang yang mau beli
pisang sang kakek hanya karena satu hal saja, mahal. Jika dibandingkan dengan
harga pisang pada umumnya. Jadi kalau ada yang beli pisangnya itu karena lebih
terdorong oleh rasa kasihan. Terkadang muncul pikiran jelek saya, inikah
strategi mengemis yang lebih halus? Tapi pikiran itu segera saya buang
jauh-jauh demi melihat keringat yang belum kering di pipinya.
Suatu
ketika, sudah cukup lama sang kakek tidak lewat depan rumah. Mulai muncul
kekangenan sekaligus kekhawatiran kami akan sang kakek. Jangan-jangan dia sakit
atau mungkin sudah meninggal. Kalau betul sudah meninggal, ke mana kami harus
melayat sementara nama dan rumahnya saja kami tidak tahu (karena setiap kali
ditanya di mana rumahnya, dia hanya menjawab “jauh ... pokonya jauh”). Hilang
sudah kekhawatiran kami begitu melihat sang kakek muncul lagi beberapa hari
menjelang lebaran tahun lalu. Hebatnya lagi dia masih berusaha menjalankan
ibadah puasa ramadhan. Untuk pertama kalinya sang kakek mengajukan permintaan
kepada istri saya (setelah didahului dengan prakata yang sangat santun)
barangkali ada baju/celana/sarung yang sudah tidak dipakai, bolehkah dia
memintanya. Trenyuh hatiku mendengarnya. Tanpa pikir panjang kami carikan baju
dan celana yang masih layak pakai. Khusus untuk sarung kami berikan yang masih
baru, masih dalam kemasan tokonya. Senang hati kami melihat senyum sang kakek.
Dan seperti biasa, sebelum melanjutkan perjalannya sang kakek selalu mendoakan
kami sekeluarga.
Ya
Allah ..... berilah kami kekuatan untuk selalu meneladani sikap dan harga diri
sang kakek dalam menjalani kehidupan ini, sikap yang pantang menyerah dan
pantang melakukan sesuatu yang hina demi kebahagiaan sesaat. Ya Allah ..... berikan
yang terbaik buat kakek kami meskipun bagi sebagian orang dia hanyalah seorang
“penjual pisang” yang dikenal orang dengan “papuq pisang”.